Caving

Rabu, 29 September 2010

Perlukah Partai Islam di Indonesia

1. PENDAHULUAN
Di tengah keadaan moral di Indonesia yang dirasa mulai bobrok, apalagi keadaan para elit politik yang suka mengobral janji pada masyarakat. Namun itu hanya janji kosong dan tidak berisi sama sekali.
Tentu hal itu akan menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan Islam sendiri. Apakah Islam juga seperti itu?
Namun Nurcholis Madjid atau yang biasa kita kenal dengan Cak Nur yang pernah mengungkapkan “Islam yes, Partai Islam no”. Bagi orang awam ungkapan ini mungkin akan mengganggu karirnya dalam berpolitik, dan akhirnya akan mengurangi kader Muslim yang ahli dalam politik untuk ikut serta dalam politk, dan Islam tidak memiliki wadah untuk memberikan aspirasinya di Indonesia. Oleh karena itu, perlu kita pahami apa maksud dari ungkapan Cak Nur tersebut.

2. PERMASALAHAN
Dari ungkapan di atas maka akan timbul pertanyaan dalam benak kita, yaitu sebenarnya haruskah ada Partai Islam di tengah-tengah kita dan Bagaimana eksistensi Partai Islam itu sendiri ?

3. PEMBAHASAN
3.1. Politik dan Islam
Ketika kita membahas mengenai partai maka kita tidak akan terlepas dari politik, menurut Deliar Noer, politik adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk memperngaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat (Deliar Noer, 1983 : 6). Dalam menjalankan politik para pelaku politik akan melakukan segala hal agar apa yang diinginkan baik itu diri maupun partai yang menaunginya dapat tercapai. Namun hal itu tidaklah seperti yang kita bayangkan jika bayangan kita bahwa politik itu akan menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita itu, karena dalam politik memiliki konsep yang jelas, diantaranya adalah :
a. Nilai-nilai (ajaran agama atau ajaran filsafat dan pemikiran manusia) yang ditranformasikan menjadi idiologi politik.
b. Idiologi politik merupakan pedoman dan kriteria pembuatan aturan hukum, pengambilan kebijaksanaan dan penilaian terhadap aktivitas politik.
c. Konstitusi berfungsi sebagai hukum dasar dan dasara keberadaan sistem politik.
d. Tujuan politik yang merupakan tujuan umum di masyarakat. (W.J.S. Poerwadarminto, 1983 : 529).
Islam sebagai ilmu yang mengambil dasar dari al Qur’an dan Hadist (Ahmad Syafii Maarif, 1998:189) yang dikembangkan hingga menjadi adanya tata cara berpolitik yang baik berdasarkan Syariah Islamiyah. Islam juga mengajarkan agar kerukunan umat beragama mencapai pada puncak optimal. Artinya Umat Islam juga tidak mau jika hubungannya dengan umat lain retak (Ahmad Syafii Maarif, 1998 : 195), karena Indonesia ini ada karena adanya mereka juga yang artinya Umat Islam tidak akan mampu untuk berdiri sendiri menjalankan roda pemerintahan di negeri ini yang terdiri dari berbagai macam agama dan adat istiadat jika tanpa ada dukungan dari umat lain. Oleh karena itu Islam hanya memberikan batasan tentang politik yang baik, yaitu (Aziz Musthofa, 2002 : 57) :
a. Kekuasaan penuh dipegang umat
b. Masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab
c. Kebebasan adalah hak semua umat
d. Persamaan di antara umat manusia
e. Kelompok minoritas memiliki legalitas
f. Tidak ada kezaliman dan meluruskannya adalah wajib bagi semua umat
g. Undang-undang di atas segalanya
3.2. Eksistensi Partai dalam Syariat Islam
Islam bukanlah semata religi (Deliar Noer, 1987 : 134) yang hanya mengatur ruhaniyah saja, tetapi Islam juga mengatur manusia untuk bergaul dengan manusia termasuk di dalamnya adalah bergaul dengan pemerintah (berpolitik). Di dalam surat as Syura’ ayat 38 disebutkan :
           
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy Syura:38)

Dan di ayat lain Allah menegaskan agar kita untuk melakukan musyawarah sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 159
                              •    
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran:159)

Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk melakukan musyawarah (meminta pendapat orang lain). Namun sebelum itu ditegaskan oleh Allah SWT agar kita tidak bercerai berai (termasuk bercerai berai di sini adalah dengan umat non muslim) dan berkeras hati karena hal itu akan membawa kerusakan bagi negara ini.
Islam memang tidak mengajarkan secara langsung bagaimana cara untuk berpolitik. Islam hanya memberikan bentuk dan beberapa sistem praktis seperti pemilihan, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas, hak minoritas yang bertentangan, kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan yang semua itu sebenarnya sudah ada dalam Islam (Al Haidar, 1419H : 66). Dan yang seterusnya diberikan ijtihad para muslim, sesuai dengan dasar agama, kemaslahatan, dan perkembangan hidupnya menurut perimbangan tempat, waktu serta trend kehidupan manusia (Al Haidar, 1419H : 58).
Diera seperti zaman sekarang ini kita membutuhkan sebuah wadah yang menjadi penyalur aspirasi rakyat terhadap nasib bangsa (aspirasi rakyat kepada pemerintah) yaitu dengan adanya partai politik sesuai dengan maklumat pemerintah RI 3 November 1945 yang memerintahkan adanya partai politik (AG. Pringgodigdo, 1973 : 289).
Islam juga tidak hanya menempatkan patai politik sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi Umat Islam di negara tetapi partai politik dalam Islam juga sebagai instrumen dakwah sehingga kekuasaan yang diberikan rakyat pada hakekatnya adalah amanah, dan harus dipertanggungjawabkan hingga akhirnya politik memperhatikan dan mengajarkan akhlak, etika, aspirasi rakyat, dan tuntunan nilai-nilai Islam.
3.3. Partai Islam Dipentas Politik Nasional
3.3.1. Strategi Partai Islam
Dalam bukunya yang berjudul Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesejangan, Amin Rais mengatakan bahwa tauhid sosial tidak mengenal dan tidak memperbolehkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, bahasa, dan pertimbangan etnis sehingga keadilan sosial yang komprehensip harus ditegakkan oleh manusia-manusia yang beriman (Bambang Cipto, 2000 : 50). Hal itu adalah salah satu daya tarik bagi partai yang berlandaskan Islam, dimana Islam tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain sehingga antara umat satu dengan umat yang lain tidak pernah merasa diasingkan dari Islam meskipun dia tidak beragama Islam.
Selain strategi tauhid sosial Partai Islam juga menggunakan prinsip ummatan wasathan seperti yang dikatakan dalam al Qur’an bahwa Islam adalah umat yang pertengahan (ummatan wasathan) (Yusril Ihza Mehendra, 1998 : 23). Sebagai agama pertengahan Islam memberi kebebasan bagi umat non muslim untuk menentukan jalan hidupnya.
Hal tersebut di atas diperkuat dengan banyaknya kalangan intelektual kampus negeri yang memilih beberapa Partai Islam seperti PAN, PBB, PK, PKB dan lain sebagainya sebagai pelarian (Bambang Cipto, 2000 : 89) ketika mereka kecewa dengan partai Golkar yang berkuasa diera orde baru, meskipun Partai Islam tersebut belum tentu memiliki peluang untuk meraih kemenangan, namun mereka menganggap bahwa Partai Islam memiliki peluang yang tidaklah kecil, karena konsep yang ditawarkannya.
3.3.2. Peran Partai Islam di Indonesia
Pada masa kemerdekaan dan demokrasi parlementer, Partai Islam dapat dikatakan mempunyai peran yang cukup segnifikan. Hal itu dapat dilihat dari peran Partai Islam dalam membangun dan menegakkan Negara Republik Indonesia. Pada masa kabinet Syahrir I, II, dan III para anggota Masjumi hanya masuk dalam pemerintahan atas nama pribadi bukan atas nama partai. Akibatnya Partai Islam hanya menjadi partai oposisi. Begitu juga pada masa kabinet Syarifuddin I. Namun ketika masa kabinet Hatta, Masjumi menempatkan 4 anggotanya dalam pemerintahan yang duduk dalam kursi kabinet. Pada masa ini sejarah mencatat peran Masjumi dalam menyelesaikan revolusi. Ketika agresi Belanda II, Mr. Syarifuddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera dan mengisi kekosongan kekuasaan karena Sukarno-Hatta ditangkap Belanda.
Pada masa-masa awal Partai Islam dapat dikatakan memiliki pamor dikalangan masyarakat Indonesia. Namun Partai Islam mengalami kemunduran pada saat Orde Baru ketika Negara ini dipimpin oleh Soeharto. Hal itu dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah ketetapan presiden yang menginginkan agar pancasila dan UUD 45 menjadi landasan dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Lili Romli, 2006 : 68). Selain itu melemahnya Partai Islam juga karena sikap pemerintah orde baru yang sewenang-wenang. Dalam pemerintahan ini memang terjadi 6 kali pemilu dan semuanya dalam selang waktu 5 tahun kecuali tahun 1977 (6 tahun dengan sebelumnya 1971). Namun dalam pemilu ini, secara kualitatif sangat dibawah kata demokrasi.
Partai Islam mulai bangkit pada masa reformasi setelah lengsernya Jendral Soeharto. Pada masa ini banyak partai yang bermunculan bahkan terdapat 184 partai dan hanya 148 partai yang mandaftarkan diri ke Depertemen Kehakiman, tapi hanya ada 141 yang disahkan sebagai partai politik namun dalam pemilu 1999 hanya ada 48 partai yang memebuhi syarat untuk mengikuti pemilu (Lili Romli, 2006 : 107). Dan dari parta-patai itu terdapat 20 partai yang berasaskan Islam.
Pada masa itu banyak sekali partai yang bermunculan, hal itu menunjukkan rakyat Indonesia sudah mulai bergairah untuk berdemokrasi setelah kekuasaan Soeharto lengser karena pada saat itu Soeharto seolah olah raja yang ingin selalu menguasai negara sehingga tidak memberikan kesempatan bagi orang lain untuk memimpin negara dengan selalu melakukan kecurangan dalam menjalankan pemerintahan (terutama dalam hal politik). Begitu juga dengan umat Islam yang ingin mengembalikan moral dan akhlak masyarakat Indonesia.
Pada masa orde baru Indonesia dilanda krisis, baik itu krisis moral maupun material. Oleh karena itu rakyak merindukan figur pemimpin yang amanah dan berpihak pada rakyat. Seorang pemimpin yang mampu membawa rakyat ke gerbang kemerdekaan yang sejati. Dalam Islam diajarkan bagaimana bersikap amanah, bagaimana bersikap adil terhadap rakyat baik itu muslim maupun nonmuslim. Hal ini digambarkan pada diri Nabi Muhammad yang menjadi panutan dalam Islam.
3.3.3. Penghambat Partai Islam
Di pentas perpolitikan Partai Islam tidaklah mudah dalam mengarungi politik di Indonesia karena selain harus bersaing dengan partai lain Partai Islam harus berjuang dari musuh abadi Islam, yaitu:
a. Nasakom yang mempunyai visi dan pedoman yang berbeda mengenai keyakinan dengan Islam dimana paham nasakom tidak mengenal adanya Tuhan, hal itu sangat bertentangan dengan Islam yang mengajarkan ketuhanan. Hal itu tentu akan menjadi ancaman yang berat bagi partai yang berlandaskan Islam.
b. Zionis Yahudi, Kaum Yahudi yang tidak menginginkan Negara Indonesia dikuasai oleh orang muslim tentu tidak akan tinggal diam dengan partai yang berlandaskan pada Islam karena jika Islam yang berkuasa tentu akan menjadi ancaman balik terhadap Kaum Yahudi.
3.4. Negara Islam Indonesia
Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam, keberadaan Islam juga bukanlah untuk menjadikan negara ini menjadi Negara Islam, tetapi Islam ada di tengah-tengah negara ini adalah untuk menjadi penengah dan penyeimbang kehidupan dunia dan kehidupan akherat. Begitu juga dalam wilayah kenegaraan, Islam adalah untuk menjadikan negara ini agar menjadi negara yang makmur dan diridhoi oleh Allah. Oleh karena itu, dalam Muktamar NU di Banjarmasin (1935 M) ketika diajukan pertanyaan “Haruskah Umat Islam mendirikan Negara Islam?” dan jawabannya adalah “tidak” (Yusril Ihza Mehendra, 1998 : 26) karena Indonesia didirikan bukan hanya oleh dan untuk Umat Islam, Indonesia didirikan oleh dan untuk semua agama yang ada di negara ini, tetapi masih dalam satu ikatan yaitu pancasila.
Hal tersebut di atas diperkuat dengan pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter yang salah satu rumusannya adalah Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, yang akan dijadikan sebagai dasar negara, namun hal itu ditolak oleh MR. A.A. Maramis yang beragama Kristen. Oleh karena itu atas persetujuan besama kalimat di atas diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa yang kemudian menjadi sila pertama dari Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara yang berbasis Islam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam memiliki saham besar bagi kemerdekaan Indonesia (Basri Iba Asghary, 1994 : 171). Namun juga Indonesia tidak akan mampu bertahan jika hanya dijalankan oleh Umat Islam, karena Islam hanya salah satu penghuni yang ada di Indonesia dan bagi penganut agama lain juga mempunyai andil yang tidak kalah besar di negara ini. Sehingga jika negara ini didasarkan pada Islam atau bahkan dijadikan Negara Islam, maka penganut agama lain tersebut akan memberontak sehingga terjadi perpecahan dikalangan bangsa sendiri dan akhirnya bangsa ini menjadi lemah.

DAFTAR PUSTAKA
AG. Pringgodigdo, dkk, Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973
Ahmad Syafii Maarif, Indonesia di Simpang Jalan, Mizan, Bandung, 1998
Al Haidar, Pemilu 1999 Pertarungan Idiologis Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, Darul Falah, Jakarta, 1419 (H)
Aziz Musthofa, Kiprah Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Bambang Cipto, Partai Kekuasaan dan Militerisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000
Basri Iba Asghary, Solusi al Qur’an tentang Problema Sosial, Politik, Budaya, Rineka Cipta, Jakarta, 1994
Deliar Noer, Partai Islam Dipentas Nasional, Mizan, Bandung, 1987
--------------, Pengantar Kepemikiran Politik, Rajawali, Jakarta, 1983
Lili Romli, Islam Yes, Partai Islam Yes, Pustaka Pelejar, Yogyakarta, 2006
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1983
Yusril Ihza Mehendra. dkk, Memilih Partai Islam Visi, Misi dan Persepsi, Gema Isani Press, Jakarta, 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar